Sore itu, Pak Imam yang janji datang, ternyata nggak jadi datang. Besoknya gak datang, besoknya lagi sama, sampai 1 minggu tetep aja gak dating. Akhirnya tak samperin ke rumahnya dech. Dan (katanya lagi..) BPKBnya dibawa ayahnya lagi, dan ayahnya ke luar kota, dan kalo keluar kota tuh lama biasanya. Aku masih bisa bersabar.
Setelah 1 bulan, dan dengan situasi yang masih sama (BPKB belum balik), aku coba samperin lagi ke rumahnya, dan dikasih alasan yang sama pula seperti kemarin2. Aku pun masih bisa bersabar, barangkali aja alasan yang dikemukakan itu memang benar.
Setelah 3 bulan, dan BPKB pun masih belum ada di tangan saya, kucoba samperin lagi (tapi dengan agak marah nich...), kali ini karena alasan Pak Imam itu masih sama, akhirnya aku paksa dia untuk buat surat perjanjian yang intinya Dia sanggup mengembalikan BPKB itu, dan apabila tidak dikembalikan maka Pak Imam itu bersedia mengembalikan semua uang saya tanpa dikurangi sedikitpun (alias Rp. 14.500.000,-), dengan dibubuhi materai yang memang udah tak siapin sebelumnya. Kali ini perasaanku agak lega, karena sudah ada pernyataan kesanggupan Pak Imam untuk menyelesaikan permasalahan yang sempat bikin aku gak bisa tidur ini.
Bulan berikutnya, iseng-iseng kucoba samperin lagi, dengan harapan ada kabar yang lebih baik dari bulan kemarin. Tapi ternyata... Aku hanya ketemu istrinya aja, dan dia pun bilang kalo Pak Imam sudah 1 bulan ini gak pulang. Haaa.... aku pun lemas... Setelah lemasnya ilang, aku coba berpikir jernih, mau lapor polisi takut nanti urusannya tambah berbelit, mau ambil barang dari rumah Pak Imam, juga gak berhak, lha wong keluarganya Pak Imam itu numpang di rumah mertuanya.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah, sambil nunggu keajaiban (seandainya tiba-tiba Pak Imam datang ke rumah bawa BPKB atau bawa uang segepok). Bingungnya kalo mau bayar pajak di Samsat, karena gak ada BPKB, maka aku gak bisa urus sendiri, alias harus minta tolong dukunnya (atau yang biasa disebut calo) buat ngurusin pajaknya, walaupun harus keluar duit lumayan banyak.
Beberapa tahun berlalu, dan klimaksnya hari sabtu kemarin. Waktu lagi asyik jalan-jalan ke Jl. Darmo naik MegaPro-ku, rencananya mau ngumpulin kupon Responsible Riding yang sudah kukumpulin seminggu ini dari harian Jawa Pos, di kotak kupon. Tapi belum sampai Taman Bungkul, atau tepatnya deket Kebun Binatang Surabaya, aku dicegat sama dua orang berboncengan berjaket hitam, celana hitam, tinggi-tinggi, berbadan besar, dan kekar, aku disuruh minggir dan berhenti karena ada pemeriksaan kendaraan (katanya...), kupikir dia Polisi yang mau ngecek apa aku bawa STNK, atau SIM. Karena semua surat kelengkapan berkendara kubawa semua, maka akupun minggir menurutinya, Dua orang berboncengan itu, satunya agak tua dan berkumis, satunya masih muda (tapi keduanya sangar banget tampangnya..!!). Yang berkumis mendatangi aku dan meminta STNK, dengan tanpa curiga aku kasihkan STNKku, kemudian barulah yang muda jelasin, sambil pegang buku tuebal banget. “Kami dari Adira Finance, dan dari data kami (data di buku tebal itu maksudnya) sepeda motor bapak ada masalah administrasi, karena menunggak cicilan sebanyak 13 kali sejak September 2005”. Dieerrrr... aku pun coba berkelit, alasan kuno “mana buktinya?”, “untuk lebih jelasnya mari kita ke kantor Adira terdekat”, jelasnya lagi. Akupun manut aja, di dalam kantor Adira aku dihadapin sama tiga orang, dan disitu kujelasin semua kejadian yang kualami dari awal sampai akhir, tapi pihak Adira gak mau menerima alasanku, “Sepeda motor ini aset adira dan bapak tidak berhak untuk memilikinya,kalo Bapak mau mengambil sepeda motor Bapak kembali, Bapak harus menebus sebesr Rp. 9.000.000,- sesuai rincian yang disodorkan kepadaku”, bilang mereka lagi. “Tapi saya beli dengan uang yang tidak kecil, masak harus bayar lagi”, bela saya. Tapi ternyata pihak Adira pun tetap kukuh dengan berbagai alasan yang memang logis sih. Aku pun hanya bisa pasrah ketika sepeda motor itu harus jatuh ke tangan mereka.
Aku masih bingung lagi, karena rumah jauh, dan tidak bawa uang. Aku pun utarakan sama yang nginterogasi aku tadi. “Saya pulang naik apa pak?” mungkin dia kasihan kali ya, akhirnya aku dikasih uang Rp. 20.000,- dan akupun pulang naik angkot. Sejak saat itulah aku berpisah dengan MegaPro kesayanganku, MegaProku sayang – MegaProku malang... hiks... hiks...